Trump menang salah satunya karena gencar serang Islam. Muslim dijadikan momok bersama untuk takuti pemilih US. Pemilih tidak rasional percaya dia. Hal ini dikatakan oleh aktivis Wahid Institute Yenni Wahid melalui akun pribadinya.
Serangan Donald Trump terhadap muslim di Amerika sempat menjadi topik panas dalam putaran pemilihan presiden termasuk juga menggegerkan dunia beberapa bulan ini. Sentimen anti Islam atau Islamophobia sangat kental dan menguat di Amerika sejak Trump bersuara. Lalu bagaimana kondisi muslim di sana sebenarnya?
Imam besar Islamic Centre of New York Syamsi Ali mengatakan bahwa kondisi Islam di negara ia berdiam adem-adem saja.
“Sejujurnya kondisi faktanya biasa-biasa saja. Memang jago juga retorika politik yang dilakukan oleh Donald Trump misalnya memang menginside, menjadikan orang agar marah, agak emosional karena orang-orang Amerika memang berada dalam situasi yang cukup sensitif tetapi Amerika tetap terbuka terhadap imigran. Jadi semua ini memang menjadikan kekhawatiran-kekhawatiran termasuk islamophobia yang cukup tinggi. Tapi tidak terlalu hiruk pikuk seperti yang diberitakan oleh media atau seperti di Indonesia,” kata Syamsi Ali di Amerika kepada sebuah stasiun televisi, Rabu (9/11/2016).
Islamophobia sudah mengemuka terutama setelah Trump muncul. Padahal ia belum tentu terpilih sebagai Presiden. Bagaimana menekan hal itu?
“Saya pribadi dan komunitas Islam secara umum melakukan pendekatan-pendekatan ke komunitas lain. Kerja-kerja interfaith yang selama ini kami lakukan itu luar biasa efektifnya. Dalam membangun trust dari komunitas muslim, betapa banyak komunitas kristen, yahudi bahkan agama-agama lain memperlihatkan dukungan di saat kita disudutkan oleh tendensi naiknya islamophobia ini,” ungkapnya
Seperti diketahui, menurut data teranyar CNN pada pagi hari, Trump lebih unggul dengan 136 electoral vote ketimbang Hillary Clinton dengan 104 electoral vote. Kedua kandidat harus mencapai 270 electoral vote untuk menjadi jawara dalam pilpres AS ini.
Electoral college merupakan kumpulan individu (disebut elector) yang nantinya akan mempunyai kewenangan untuk memilih presiden. Ketika di hari pemungutan suara seorang warga AS memilih capres A, secara teknis sesungguhnya dia sedang memilih elector yang bakal ia pasrahi untuk memilih A dalam sidang electoral college.
Sementara popular vote adalah pemberian suara oleh warga, dan pemberian suara oleh elector adalah electoral vote. Negara-negara bagian mempunyai jumlah electoral vote tertentu, sesuai dengan jumlah populasi, dan siapa saja yang memenangkan popular vote di sebuah negara bagian artinya juga memenangkan electoral vote.
Capres dari partai Republik, Donald Trump makin unggul atas rivalnya pada jam berikutnya, Hillary.
Washington Post, Rabu (9/11/2016) menyebutkan Trump sejauh ini telah mencapai 244 electoral vote, dan Hillary meraih 215 electoral vote. Penghitungan sendrii masih berlangsung, akan tetapi awak media AS telah meramalkan bahwa Trump akan keluar sebagai pemenang.
“Al-Fatiha for the United States Of America. #ElectionNight,” kata grup hiphop Muslim AS, Deen Squad melalui akun jejaring sosialnya. [Paramuda/BersamaDakwah]
COMMENTS